Agama Konghucu berasal dari Cina
daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran.
Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara.
Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitikberatkan pada
kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada kode etik
melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir dengan
baik, atau jalan hidup atau pergerakan sosial. Di era 1900-an, pemeluk
Konghucu membentuk suatu organisasi, disebut Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia (sekarang Jakarta).
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, umat Konghucu di
Indonesia terikut oleh beberapa huru-hara politis dan telah digunakan
untuk beberapa kepentingan politis. Pada 1965, Soekarno
mengeluarkan sebuah keputusan presiden No. 1/Pn.Ps/1965 1/Pn.Ps/1965,
di mana agama resmi di Indonesia menjadi enam, termasuklah Konghucu.
Pada awal tahun 1961, Asosiasi Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI), suatu
organisasi Konghucu, mengumumkan bahwa aliran Konghucu merupakan suatu
agama dan Confucius adalah nabi mereka.
Tahun 1967, Soekarno digantikan oleh Soeharto, menandai era Orde Baru.
Di bawah pemerintahan Soeharto, perundang-undangan anti Tiongkok telah
diberlakukan demi keuntungan dukungan politik dari orang-orang, terutama
setelah kejatuhan PKI, yang diklaim telah didukung oleh Tiongkok.
Soeharto mengeluarkan instruksi presiden No. 14/1967, mengenai kultur
Tionghoa, peribadatan, perayaan Tionghoa, serta menghimbau orang
Tionghoa untuk mengubah nama asli mereka. Bagaimanapun, Soeharto
mengetahui bagaimana cara mengendalikan Tionghoa Indonesia, masyarakat yang hanya 3% dari populasi penduduk Indonesia, tetapi memiliki pengaruh dominan di sektor perekonomian Indonesia.
Pada tahun yang sama, Soeharto menyatakan bahwa “Konghucu berhak
mendapatkan suatu tempat pantas di dalam negeri” di depan konferensi
PKCHI.
Pada tahun 1969, UU No. 5/1969 dikeluarkan, menggantikan keputusan
presiden tahun 1967 mengenai enam agama resmi. Namun, hal ini berbeda
dalam praktiknya. Pada 1978, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan
bahwa hanya ada lima agama resmi, tidak termasuk Konghucu.
Pada tanggal 27 Januari 1979, dalam suatu pertemuan kabinet, dengan
kuat memutuskan bahwa Konghucu bukanlah suatu agama. Keputusan Menteri
Dalam Negeri telah dikeluarkan pada tahun 1990 yang menegaskan bahwa
hanya ada lima agama resmi di Indonesia.
Karenanya, status Konghucu di Indonesia pada era Orde Baru tidak pernah jelas. De jure,
berlawanan hukum, di lain pihak hukum yang lebih tinggi mengizinkan
Konghucu, tetapi hukum yang lebih rendah tidak mengakuinya. De facto, Konghucu tidak diakui oleh pemerintah dan pengikutnya wajib menjadi agama lain (biasanya Kristen atau Buddha)
untuk menjaga kewarganegaraan mereka. Praktik ini telah diterapkan di
banyak sektor, termasuk dalam kartu tanda penduduk, pendaftaran
perkawinan, dan bahkan dalam pendidikan kewarga negaraan di Indonesia
yang hanya mengenalkan lima agama resmi.
Setelah reformasi Indonesia tahun 1998, ketika kejatuhan Soeharto, Abdurrahman Wahid
dipilih menjadi presiden yang keempat. Wahid mencabut instruksi
presiden No. 14/1967 dan keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1978.
Agama Konghucu kini secara resmi dianggap sebagai agama di Indonesia.
Kultur Tionghoa dan semua yang terkait dengan aktivitas Tionghoa kini
diizinkan untuk dipraktekkan. Warga Tionghoa Indonesia dan pemeluk
Konghucu kini dibebaskan untuk melaksanakan ajaran dan tradisi mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar